May
21

Waspada Bahaya Radikalisme di Kampus

Beberapa waktu lalu, kita dicengangkan dengan berita Deklarasi Khilafah di salah satu kampus terkenal di Indonesia. Banyak mahasiswa dan masyarakat yang menyayangkan kegiatan tersebut, karena hal tersebut jelas jelas bertentangan dengan NKRI, dan banyak yang meminta pemerintah segera bertindak atas permasalahan ini.

Masyarakat pun mulai bersuara terkait dengan peristiwa tersebut, dan rata rata mengajak para mahasiswa sebagai generasi penerus untuk mewaspadai hal tersebut, karena jika mahasiswa dan generasi muda tidak mempunyai benteng pertahanan dari kelompok radikal terorisme, risikonya sangat besar yaitu perpecahan NKRI untuk itu generasi muda harus memiliki pertahanan diri menghadapi serangan paham radikal terorisme. Kelompok garis keras sudah mulai masuk ke kampus-kampus untuk merusak persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Banyak pengamat mengatakan, mudah masuknya paham radikal ke mahasiswa dan generasi muda karena saat ini kolektivitas sosial mereka mulai berkurang akibat lebih banyak menghabiskan waktu dengan gagdet. Hal itu membuat hubungan antar-mahasiswa dan generasi muda menjadi renggang sehingga mereka tidak mempunyai filter untuk menghadapi propaganda radikalisme.

Faktor lainnya adalah frustasi dengan keadaan karena kondisi sosial politik di Indonesia masih tidak menentu. Saat semua jadi susah dan tidak pasti, banyak yang menawarkan angan-angan yaitu jika mengikuti khilafah akan menyelesaikan semua persoalan.

Untuk itu team website STIE SBI mencoba untuk meminta beberapa pendapat terkait hal tersebut kepada beberapa mahasiswa dan mahasiswi di lingkungan kampus STIE SBI Yogyakarta.

Menurut Ketua Dewan Mahasiswa masa bakti 2017-2018 M Giean Putra Diningrat, “kampus harusnya menjadi tempat belajar – mengajar serta merupakan wadah untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Seharusnya kampus tidak perlu melakukan kegiatan kegiatan yang bisa bermuara pada rongrongan terhadap keutuhan NKRI. Heran juga dengan kampus yang masih bisa disusupi kelompok radikal yang tidak luas pandangannya”.

Sebagai ketua Dema, dia juga bertanggungjawab kepada teman teman dan mahasiswa sekampus untuk tetap menjaga kondisi di kampus agar tetap kondusif, memiliki kegiatan yang bermanfaat bagi mahasiswa dan kampus itu sendiri. Karena basic kampus adalah ilmu ekonomi, maka pihaknya bersama sama jajaran Dema akan merespon UKM yang bermanfaat apalagi jika berhubungan dengan ekonomi seperti kegiatan wirausaha, bincang bisnis dan lainnya.

Untuk belanegara sendiri menurutnya adalah penting, karena dengan bela negara kita seperti selalu diingatkan bahwa selain menghargai jasa para pahlawan yang telah berjuangan mencapai kemerdekaan bangsa ini, dalam skala kecil di kampus kita juga dituntut untuk membela negara ini jika ada paham paham radikal yang akan mengoyahkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia – NKRI.

Giean juga menambahkan bahwa selain radikalisme yang perlu diawasi, gerakan terorisme juga patut diwaspadai, bisa jadi terorisme akan menyasar ke kampus kampus.

Selain Ketua Dema, salah satu mahasiswa angkatan 2012 jurusan Managemen – Wahyudi berpendapat pada dasarnya radikalisme akan mengancam kesatuan dan keutuhan sebuah negara. Indonesia sebagai negara demokrasi sangat mengecam gerakan2 yg mengarah ke radikalisme dan terorisme.

Adanya gerakan radikalisme yang sudah masuk ke kampus, tentunya akan sangat berbahaya. Mahasiwa yg diharapkan sebagai penerus perjuangan Negara harus lebih memliki rasa kuat terhadap nasionalis demi keutuhan bangsa Indonesia.

Saya malah jadi ingat dengan negara Korea Utara, dimna ada 1 kewajiban yg diikuti oleh setiap warga negaranya. Yaitu wajib militer. Mungkin, seandainya indonesia menerapkan hal yg sama, mungkin pemahan akan ideologi radikalisme akan sedikit berkurang. Karena adannya pendidikan yang kuat tentang bela negara.

Pemerintah memang sudah membubarkan HTI yg dianggap membahayakan NKRI, namun merubah ideologi organisasi itu bukan hal yg mudah. Penyebaran radikalisme melalui doktrin sebuah pendidikan yg diterapkan oleh kelompok radikal. Tentunya kita juga harus melawan dengan doktrin nasionalis dan bela negara melalui pendidikan.

Anita, salah satu mahasiswi angkatan 2014 juga memiliki pendapat bahwa sikap radikalisme di dalam kampus itu pasti aka ada dan dilakukan oleh sekelompok orang, namun tidak terlalu terbuka. Mereka ini biasanya menggembar gemborkan tentang dalil fasihnya yang tidak memahami penjabaranya benar atau salah namun tetap dianggap benar, demi mencapai tujuannya.

Ia beruntung, Karena di kampus STIE SBI sendiri jauh dari orang orang atau penyusup yang membawa paham radikalisme yang seperti marak akhir akhir ini.

Sementara untuk bela negara sendiri, menurutnya tidak terlalu penting namun perlu diadakan. Mengapa tidak terlalu penting karena Ia melihat bahwa masyarakat saat ini mulai pintar dan bijak, paham mana yang perlu di bela dan mana yang tidak.

Anita mencontohkan pada kasus perekrutan ormas FPI (Front Pembela Islam) di wilayah Semarang, tidak hanya saja mahasiswa yang memboikot, namun juga masyarakat sekitartanpa diminta dan dikomando untuk membela bangsa ini.

Sementara itu salah satu dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila – Syaifudin Zuhri bersikap bahwa menjadi consensus nasional bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia. Konsensus ini tentu saja berdasar pertimbangan matang baik dari aspek budaya, politik, ideologi dan historis. Persoalan lebih pada bagaimana ideology ini mampu menjawab persoalan riil bangsa ini, sejak dari persoalan ekonomi, pasar bebas, globalisasi, tekhnologi, korupsi dan lain lain.

Untuk itu diperlukan upaya kreatif menanamkan civic education di kalangan generasi mahasiswa khususnya.

Menurut Pak Udin begitu sapaan akrabnya, terhadap masuknya paham radikalisme yang masuk ke kampus merupakan akibat dari melemahnya concern negara dalam civic education generasi muda, energy bangsa justru terkuras oleh intrik politik, perebutan kekuasaan, konspirasi dan lain lain.

Radikalisme merupakan isu global yng menunggangi globalisasi itu sendiri, walaupun ia hadir sebagaimana respon dari kelompok yang kalah oleh globalisasi. Merasuknya paham globalisasi di kalangan mahasiswa juga menandakan mahasiswa mengalami disorientasi gerakan dan kegamangan . Selain penggalakan civic education yang kreatif dan inovatif, mestinya mahasiswa lebih concern pada pengembangan peradaban dengan karya karya kreatif dan futuristik yang memberi solusi pada persoalan kekinian dan obyektif, seperti penciptaan tekhnologi tepat guna dan berdaya saing.(ang)

*sumber foto : google

 

 

 

 

 

 

stie-sbi